GUS SAMSUDIN ADALAH KITA

GUS SAMSUDIN ADALAH KITA

mdindonesia.id, Pesulap Merah membongkar trik Dukun. Cerita soal penyingkapan kepalsuan ‘dunia lain’ ini menjadi tren penayangan di ‘dunia lain’ satunya (baca: internet). Dan cerita ini makin menarik polarisasi saat si Pesulap Merah berhadapan Gus Samsudin, seorang dukun yang ikonik justru karena kekonyolannya, bukan karena tampang sangarnya. 

Polarisasi, selalu ada dalam tiap konflik. Tidak peduli apakah itu perseteruan antar tetangga, hingga pembangkangan Iblis pada Tuhan. Dan dalam setiap polarisasi ada pengikut—sekaligus pencemooh. Tidak seperti hewan yang berkonflik karena sebab obyektif seperti teritorial (yang di dalamnya mengandung pangan dan pasangan), kita bisa berkonflik hanya karena narasi.

Animal Symbolicum, binatang yang membuat symbol—lebih tepatnya Bahasa, membuat kita mengidentifikasi lawan melalui narasi-narasi. Maka dalam konflik itu, tiap pengikut membangun narasi tentang betapa jahat lawannya—sedemikian jahat hingga pantas untuk dimusuhi. 

Pesulap versus Dukun, adalah perseteruan antara dua profesi yang melibatkan keterampilan yang sama: kelihaian memanfaatkan ketidaktahuan. Pun dua profesi ini sama-sama mendapatkan profit karena penonton yang tidak punya ilmu merasa puas dengan atraksinya. Ketidaktahuan ini bisa hanya terkait keterbatasan panca indra, atau sampai keterbatasan pengetahuan kita tentang reaksi kimia dan psikologis. Bedanya, pesulap melepaskan aktivitasnya dengan nuansa mistik sedangkan dukun justru membungkusnya. 

Maka dalam narasi Pesulap versus Dukun ini, sosok epiknya bergantung pada bagaimana paradigma kita dalam memandang dunia. Apakah dunia ini sepenuhnya bekerja secara natural? Ataukah lebih dipengaruhi oleh yang supranatural? Makin mistis cara berpikir seseorang, makin ia memihak Gus Samsudin, sebaliknya makin positif—dalam pengertian positifnya Comte—maka ia semakin bergeser ke si Marcel. 

Dukun di nusantara pada awalnya adalah profesi medis lokal. Mengutip National Geographic Indonesia, awalnya ekspansi kolonialisme Eropa ke Indonesia tidak membawa serta tenaga medis yang memadai, sehingga pemerintah kolonial memandang dukun sebagai ahli alternatif yang bisa menambal minimnya tenaga medis ala Barat. Apalagi dukun saat itu lebih memahami pengobatan tradisional berkat pengetahuan mereka soal herbal lokal. Praktik perdukunan pun berbeda—mengikuti klasifikasi Geertz—antara dukun bagi kalangan priyayi yang cenderung ditambahi ritual meditatif, dukun kaum santri yang ditambahi ritus spiritual dan doa, serta dukun kaum abangan yang dibungkus kepercayaan ritus animism-dinamisme. 

Namun sekarang, pengertian dukun lebih pada pelaku penyembuhan dengan praktik klenik. Mungkin Dukun bagi kaum priyayi berkurang karena peningkatan jumlah tenaga medis Barat sejak pendirian Stovia (sekolah dokter pribumi). Sedangkan dukun bagi kaum santri sebagian habis berkat Gerakan tajdid (pemurnian Islam) dan modernisasi pendidikan. Tinggal dukun bagi kaum abangan (dan santri abangan). Dalam kategori inilah Gus Samsudin berada. Dengan genealogi ini bisa kita pahami siapa yang cenderung membela si Pesulap dan siapa yang berada di belakang si Dukun. 

Pertanyaannya adalah mengapa sampai sekarang dukun kaum abangan masih eksis? Jumlahnya cukup banyak, bahkan sampai memiliki organisasi modern? Dukun kaum abangan ini (meski berkedok label kaum santri) pun tidak hanya ‘spesialis’ menyembuhkan penyakit namun juga membuka layanan lain seperti penglaris, penguat fisik, pemikat, hingga pengatur gejala alam. Jawaban cepatnya tentu membawa pandangan kita pada masyarakat itu sendiri. Larisnya dukun klenik artinya paradigma masyarakat sendiri masih kental dengan klenik—atau dalam terminologi Comte: teologis. 

Namun mengapa pandangan masyarakat itu sendiri tidak berubah? Bukankah modernisasi telah mendorong desakralisasi dalam begitu banyak aspek seperti pernikahan, filantropi, hingga status iman? Tapi mengapa praktik klenik masih banyak diikuti? 

Marvin Harris dalam Cow, Pigs, War, and Witches ketika menganalisis tentang inkuisisi Gereja terhadap Tukang Sihir menyebut bahwa tukang sihir saat itu hanyalah kambing hitam dari kelas Bangsawan dan Agamawan yang gagal menyejahterakan rakyat. Selain mengalihkan kemarahan rakyat dengan mengajak ikut dalam Perang Salib melawan Islam, kelas elite mengalihkan sebab penderitaan kepada mereka yang difitnah sebagai tukang sihir. Jika ada rakyat yang sakit, itu sebab tukang sihir. Jika ada yang mati, kelaparan, hingga bencana, itu sebab tukang sihir. 

Harris tidak setuju dengan pandangan Professor Burton Russel yang menganggap Tukang Sihir dibantai karena merupakan bentuk protes sosial terhadap stuktur kekuasaan. Tapi dalam konteks dukun di nusantara kit aini, kita bisa mengambil pembalikan gagasan Burton Russel itu, Dukun eksis justru karena menguntungkan struktur kekuasaan. Secara sederhana: dukun eksis karena dirawat oleh kekuasaan. 

Maka janganlah heran dengan munculnya Rara di tengah perhelatan balap Mandalika. Itu simbolisme perdukunan yang dirawat kekuasaan. Begitu pula dengan ritus penyatuan tanah-air di Titik Nol IKN dan Siram Kembang mobil Esemka. Ritus klenik dirawat kekuasaan karena paradigma teologis masih kental di masyarakat—dan yang paling penting—bisa dimanfaatkan secara politis. Agama, definisi Jared Diamond dalam The World until Yesterday, salah satunya berfungsi sebagai instrument mengorganisir kepatuhan politis. 

Jika masyarakat percaya pada ilmuwan, maka masyarakat akan menerapkan paradigma ilmu pengetahuan ilmiah dalam memverifikasi kebenaran. Tentu ini hal yang tidak disukai pemilik kekuasaan, terlalu sulit dan mahal bagi pelaku politik untuk mendapatkan dukungan dari mereka yang pikirannya skeptis dan kritis (ciri masyarakat ilmiah). Lebih mudah mengorganisir massa yang bisa dikendalikan secara emosional. 

Agama, tidaklah sama dengan kepercayaan mistik, mungkin itu kalimat yang akan digunakan untuk menolak argumentasi penulis. Benarkah? Persoalannya bukanlah agama atau mistik, tapi lebih pada “cara” dalam beragama. Sejauh mana kita mengembangkan praktik beragama yang kritis? Sepanjang kita percaya pada ‘kesaktian’ tokoh dan tunduk patuh tanpa nalar kritis maka sama saja antara kita dengan para pengikut perdukunan. Kita meletakkan pemuka agama sama dengan pelaku perdukunan, dalam arti fungsi mereka sama-sama sebagai pemilik otoritas kebenaran. 

Dalam perspektif itu, maka Gus Samsudin adalah kita. Ia mewakili sebagian besar kita yang membiarkan masyarakat hidup dalam ketidaktahuan akan mekanisme alam, sosial, dan psikis. Bahkan kita memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat itu dan mengkapitalisasinya untuk kepentingan kita pribadi. 

Saya beri contoh. Pada saat memilih pemimpin publik, atas dasar apa kita memilihnya? Jarang sekali dasar rasional seperti rekam jejak kinerja dan kompetensi menjadi parameternya. Pikiran kita beranggapan bahwa orang dari agama yang sama, kelompok yang sama, keluarga yang sama, adalah jawaban dari persoalan kemasyarakatan. Bukankah irasionalitas ini sama dengan mempercayai dukun bisa menyembuhkan penyakit dengan mentransfer penyakit itu ke dalam kepala muda? 

Pada saat terjadi bencana, apa yang dikatakan para pemuka agama? Masyarakat telah melanggar hukum Tuhan. Okey, benar. Tapi hukum Tuhan yang mana? Tanah Longsor bisa jadi karena manusia melanggar perintah Tuhan untuk tidak menebang sembarangan, bukan karena di lereng gunung itu digunakan untuk pacaran.

Jika hasil tangkapan ikan menurun, mungkin sudah waktunya dilakukan larung. Padahal bisa jadi memang sedang musim perpindahan ikan, atau malah pencemaran akibat industrialisasi yang membuat ikan bergeser ke lautan yang lebih dalam. Dalam banyak kasus, kerusakan terjadi akibat keserakahan elite di struktur kekuasaan namun penganut mistisme akan mendasarkan pada kekuatan supranatural. 

Baca juga: Prihatin dengan SD Peninggalan KH Mas Mansur

Jika di suatu daerah usia harapan hidupnya rendah, adakah yang mengaitkan dengan lemahnya kinerja pemerintahan dalam menyediakan sistem layanan Kesehatan memadai serta lingkungan hidup yang sehat, juga pola hidup masyarakat yang berkesinambungan? Saya ragu. Paling banyak, kita beralih ke penjelasan teologis: takdir.

Pikiran ini diperkuat oleh para elite keagamaan. Siapa yang diuntungkan? Tentu pemilik kekuasaan. Inilah yang saya maksud dengan pembalikan gagasan Burton Russel dalam paragraf sebelumnya.  

Jadi sekali lagi, dalam banyak hal Gus Samsudin adalah kita. Masyarakat yang malas berpikir ilmiah, atau elite yang mengambil keuntungan dari masyarakat semacam itu.[]