Pengusaha Muhammadiyah
Ayahku sepertinya sangat terpengaruh oleh dinamika kelompok intelektual Muhammadiyah di Jogja pada awal 1990an. Pada saat itu, Muhammadiyah

mdindonesia.id, Ayahku sepertinya sangat terpengaruh oleh dinamika kelompok intelektual Muhammadiyah di Jogja pada awal 1990an. Pada saat itu, Muhammadiyah yang biasanya dipimpin oleh kyai mulai bergeser dipimpin oleh akademisi kampus.
Ayahku menakar identitas Muhammadiyah dengan kadar intelektual. Baginya, orang Muhammadiyah wajib pintar dan banyak membaca. Dari tradisi itulah aku tumbuh dan mendapat banyak stimulasi ilmu pengetahuan. Tradisi itu pula yang membuatku mengira bahwa semua orang Muhammadiyah adalah kelompok intelektual.
Pengusaha Muhammadiyah
Setelah aku dewasa dan ber-Muhammadiyah atas kemauanku sendiri, aku mulai sadar bahwa kelompok intelektual ini bukan satu-satunya kelompok dalam Muhammadiyah. Mereka bukan satu-satunya pemilik Muhammadiyah. Ada orang-orang dari latar belakang lain yang ber-Muhammadiyah dengan cara berbeda, salah satunya kelompok pengusaha.
Bicara tentang orang Muhammadiyah dari kelompok pengusaha, aku jadi teringat pada seseorang yang kupanggil dengan sebutan Ponsu Azwin. Ponsu Azwin yang merupakan partner ayahku dalam ber-Muhammadiyah adalah pemilik toko Mekar Sari yang sangat populer di Teluk Kuantan.
Meskipun beliau tidak mencirikan dirinya sebagai orang Muhammadiyah yang ngintelek, tapi Ponsu Azwin adalah pendana utama banyak kegiatan dan pembangunan Muhammadiyah di level daerah. Tanpa Ponsu Azwin dengan segala kekuatan ekonominya, ayahku mungkin tak terlalu leluasa membuat ini itu untuk Muhammadiyah daerah.
Kalau dipikir-pikir lagi, kelompok pengusaha di Muhammadiyah itu sangat unik. Sulit sekali menakar mereka dalam logika kapitalisme. Mereka tampak mudah menggelontorkan banyak uang bagi organisasi tanpa berpikir panjang nanti akan mendapat balasan apa bagi diri mereka pribadi.
Aku baru mengerti pola ini setelah ngobrol banyak dengan Pak Ibnu Novel Hafidz, orang Muhammadiyah yang mengelola Hotel Grand Keisha di Jl. Affandi, Jogja. Dari Pak Novel aku baru tahu bagaimana kelompok pengusaha yang jumlahnya segelintir ini memberikan kontribusi dengan cara yang berbeda dari para intelektual di Muhammadiyah. Ngobrol dengan Pak Novel seperti bertemu dengan kelompok Muhammadiyah yang lain dari yang biasa aku temui.
Selama ini, aku pikir kelompok intelektual adalah Si Paling Muhammadiyah. Tapi tanpa para pengusaha, kelompok intelektual ini pusing juga pasti kepalanya. Mau bikin ini itu untuk kemajuan persyarikatan dan bangsa, tapi kok kurang uangnya.
Penulis: Lya Fahmi