Tentang Hadiah Pahala: Ijinkan Saya Bermadzab Hanbali

Tentang Hadiah Pahala: Ijinkan Saya Bermadzab Hanbali

mdindonesia.id - Berbeda dengan Imam Syafi’i meski tidak mutlak yang berpendapat tak sampai, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taymiyah berpendapat sebaliknya, bahwa : kirim pahala Al Quran atau al Fatihah kepada mayit atau orang yang sudah meninggal adalah sampai. 

Saya taat dan patuh terhadap semua putusan dan fatwa Majelis Tarjih kecuali satu ini 

Sampai dan tidaknya adalah soal spekulatif: alhamdulilah jika hadiah pahala yang saya kirimkan sampai—-dan saya tak merugi kalaupun tak sampai. Sebaliknya betapa ruginya jika hadiah pahala itu sampai sementara saya tak berkirim.  Dan itulah yang saya amalkan selama beberapa tahun terakhir ini terhadap kedua orangtua, kerabat dekat dan saudara seiman yang sudah meninggal. 

Sangat benar ‘Bahwa setiap orang tidak mendapatkan pahala kecuali yang di usahakan’ —maka saya adalah hasil jerih payah atau usaha orang tua saya yang telah mendidik dan bermuamalah dalam kebaikan maka saya berkirim pahala atasnya karena amal yang telah beliau usahakan selama hidupnya. 

Maka dengan senang hati saya memutuskan mengabaikan pendapat Imam Syafi’i dan HPT yang berpendapat tak sampai dan bermigrasi pada pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taymiyah yang berpendapat sampai tanpa terkurangi. 

Saya mendoa dan memohonkan ampun dan bekirim pahala bacaan Al Quran: al Faatihah satu persatu dengan sebut nama secara khusus kepada kedua orang tua, keranat dekat handai toulan dan saudara sesama muslim yang sudah meninggal puluhan tahun sil. 

Bahkan juga terhadap yang masih hidup kepada isteri, anak anak juga kerabat jauh dan dekat yang sedang sakit atau sehat yang sedang sedih atau didera musibah— semua saya doakan dan saya ‘kirimi pahala’ bacaan Al Faatihah. Sebuah ketidak-laziman yang saya terabas.

Saya tidak akan bahas khilaf fiqh yang rumit — tapi lebih fokus pada aspek muamalah dalam konteks fenomenologis. Sebuah pikiran yang mencoba mencandra dari aspek perilaku keberagamaan yang bersumbu pada puritanisme yang saya genggam erat selama puluhan tahun. Dengan jargon yang amat menggetarkan: kembali kepada Al Quran dan As Sunah.

Paham keber-agama-an Persyarikatan meski tidak bermadzab — tetap saja punya kecenderungan. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal adalah kerap menjadi rujukan sebagai putusan fatwa. Kalau tak mau di bilang memikiki kemiripan yang kuat terutama menyangkut amalan amalan prinsip keseharian yang membedakan.

Sebut saja : tidak melafadzkan niat secara jahr, membaca sir Basmalah, tidak membaca qunut subuh, tidak membaca sayidina pada tahiyat, menggerakkan telunjuk, dan terpenting jargon kembali kepada Alquran dan as sunah adalah bersamdar kepada Imam Ahmad bin Hanbal. 

Termasuk menyebut bid’ah terhadap semua amalan yang tidak ada dalil dan uswah dari Rasulullah saw diperlakukan secara general tidak membedakan mana yang mahdhoh dan mana pula yang ghairu mahdhoh yang kemudian menjadi pangkal ke-simpang-siuran teologis dalam bentuknya yang ekstrim. 

Maka piara burung, piara ikan koi, mancing pun dianggap bid’ah karena tidak ada dalil dan uswah dari nabi saw dan para salafus saleh. Keberagamaan menjadi sangat absurd dan hilang konteks karena ketiadaan ruh dan spiritualitas. Kering lagi hambar. Sebab semua dihitung kuantitas serba transaksional. Bahkan hubungan dengan rasulullah saw pun mengalami kerenggangan karena dilakukan secara formal. 

Sebab cinta Nabi saw dimakna kultus. Hanya Mengedepankan hal-hal formal semacam ibadah mahdhoh secara leterljik ner-spiritual. 

@nurbaniyusuf

Komunitas Padhang Makhsyar 

Catatan :

Hadits-hadits tentang berkirim

pahala kepada orang yang sudah meninggal sebenarnya cukup banyak :

‎عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أُمَّهُ تُوُفِّيَتْ، أَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَإِنَّ لِي مِخْرَافًا وَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا. [رواه البخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a.: Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw: Sesungguhnya ibuku telah wafat, apakah bermanfaat baginya jika saya bersedekah atas namanya? Jawab beliau: “Ya”. Orang itu berkata: Sesungguhnya saya mempunyai kebun yang berbuah, maka saya mempersaksikan kepadamu bahwa saya telah menyedekahkannya atas namanya.” [HR. al-Bukhari]

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa juz 24 halaman 367 :

‎وأما القراءة والصدقة وغيرهما من أعمال البر فلا نزاع بين علماء السنة والجماعة في وصول ثواب العبادات المالية كالصدقة والعتق كما يصل إليه أيضا الدعاء والاستغفار والصلاة عليه صلاة الجنازة والدعاء عند قبره. وتنازعوا في وصول الأعمال البدنية: كالصوم والصلاة والقراءة. والصواب أن الجميع يصل إليه

"Adapun bacaan Al-Quran, shodaqoh dan ibadah lainnya termasuk perbuatan yang baik dan tidak ada pertentangan dikalangan ulama ahli sunnah wal jamaah bahwa sampainya pahala ibadah maliyah seperti shodaqoh dan membebaskan budak. Begitu juga dengan doa, istighfar, sholat dan doa di kuburan. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang sampai atau tidaknya pahala ibadah badaniyah seperti puasa, sholat dan bacaan. Pendapat yang benar adalah semua amal ibadah itu sampai kepada mayit atas izin Allah tabarakawataala. 

Adapun pendapat Imam Syafii tidak sampai itu tidak secara mutlak, tapi jika dibaca tidak di dekat mayit kuburan, atau tidak meniyatkan kiriman bacaan tersebut.

Dalam kitab KH. Hasyim Asy’ari (at-Tibyan, 16) menerangkan:

‎وَذُكِرَ أَنَّ الْإِمَامَ الشَّافِعِيَّ لَمَّا زَارَ قَبْرَ الْإِمَامِ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ الله عَنْهُمَا وَأَقَامَ فِيهَا نَحْوَ سَبْعَةِ أَيَّامٍ يَقْرَأُ عَلَيْهِ الْقُرْآنَ الْعَظِيمَ. وَكُلَّمَا خَتَمَ خَتْمَةً أَهْدَى ثَوَابَهُ إِلَى الْإِمَامِ أَبِي حَنِيفَةَ.

“Dituturkan bahwa Imam as-Syafi’I ketika ziarah ke kuburan Imam Abu Hanifah—radhiyallahu ‘anhuma— dan tinggal di sana sekitar tujuh (7) harian, beliau membacakan al-Qur’an al-‘Azhim untuknya. Setiap kali selesai satu khataman (30 juz), beliau hadiahkan pahalanya kepada Imam Abu Hanifah"

Wallahu a'lam